Minggu, 18 Maret 2012

TIGA FASE PRIBADI MANUSIA


“Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.” (Victor Hugo)
Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.
Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

1. Fase pertama, fase to do.
Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.
Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.
Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, “Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?

2. Fase kedua, fase to have.
Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.
Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.
Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.
Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.
Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. “Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya…,” katanya.
Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

3. Fase ketiga, fase to be.
Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.
Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.
Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.
Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan “Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?”
Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.
Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!

AKHLAK PRIBADI UNGGUL



Keberadaan akhlak mulia bagi setiap pribadi unggul, adalah buah dari keimanan yang kental. Dan ini merupakan kekayaan yang tinggi nilainya dalam kehidupan manusia. Untuk itu, sejak awal kita harus berusaha memburu keilmuan tentang itu sebagai bekal dalam membangun kehidupan berumah tangga.
Dalam hal ini, kita telah sepakat bahwa kemuliaan akhlak bangsa ini akan tumbuh dengan baik, bila individu-individu dalam keluarga itu telah memiliki akhlak mulia. Dan Rasulullah Saw adalah contoh utama pembentuk akhlak dalam kehidupan setiap muslim. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Harapan demikian, insya Allah akan terwujud, manakala setiap diri kita meniatkan secara sungguh-sungguh lagi ikhlas mengharap ridha-Nya. Sehingga dari sini akan terbentuk sebuah tatanan yang terjalin dengan nilai-nilai akhlakul karimah. Dan melalui nilai-nilai ini dan disiplin yang diamalkan oleh anggota masyarakat, maka akan lahirlah sebuah masyarakat yang aman, damai, harmonis dan diselimuti ruhiah Islam.
Berikut ini, ada beberapa nilai akhlak Islam yang menjadi tonggak amalan –sehingga patut dikedepankan— bagi setiap (keluarga) muslim dalam melahirkan individu/pribadi unggul, yaitu :
1. Ikhlas
Ikhlas adalah inti dari setiap ibadah dan perbuatan seorang muslim. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Bayyinah: 5, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan –keikhlasan— kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Anggota masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akherat, bersih dari sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan. Nabi Saw bersabda, “Bahagialah dengan limpahan kebaikan bagi orang-orang yang bila dihadiri (berada dalam kumpulan) tidak dikenal, tetapi apabila tidak hadir tidak pula kehilangan. Mereka itulah pelita hidayah. Tersisih daripada mereka segala fitnah dan angkara orang yang zalim.” (HR. Imam al-Baihaqi).
2. Adil
Bersifat adil, berarti menempatkan/ meletakan sesuatu pada tempatnya. Adil juga tidak lain ialah berupa perbuatan yang tidak berat sebelah. Para Ulama menempatkan adil kepada beberapa peringkat, yaitu adil terhadap diri sendiri, bawahan, atasan/ pimpinan dan sesama saudara. Nabi Saw bersabda, “Tiga perkara yang menyelamatkan yaitu takut kepada Allah ketika bersendiriaan dan di khalayak ramai, berlaku adil pada ketika suka dan marah, dan berjimat cermat ketika susah dan senang; dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikuti hawa nafsu, terlampau bakhil, dan kagum seseorang dengan dirinya sendiri.” (HR. Abu Syeikh).
3. Bersyukur
Bersyukur pada tataran menjadi pribadi unggul berlaku pada dua keadaan. (1) Sebagai tanda kerendahan hati terhadap segala nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah sama, baik sedikit atau banyak. (2) Bersyukur sesama makhluk sebagai ketetapan daripada Allah, supaya kebajikan senantiasa dibalas dengan kebajikan. Allah berfirman, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan sekiranya kamu mengingkari –kufur— (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
4. Tekun
Ketekunan ini tidak lain adalah usaha dengan rajin, keras hati dan bersungguh-sungguh. Islam sendiri, jauh-jauh hari telah menggalakan umatnya untuk tekun apabila melakukan sesuatu pekerjaan. Sehingga dapat diselesaikan dengan baik dan berjaya. Nabi Saw dalam sabdanya menyebutkan, “Sesungguhnya Allah SWT menyukai apabila seseorang bekerja, dia melakukan dengan tekun.” (HR. Abu Daud).
Perilaku ketekunan seseorang ini, maka akan meningkatkan produktivitasnya, melahirkan suasana kerja yang aman, dan memberi kesan yang baik kepada masyarakat sekitarnya.
5. Disiplin
Yaitu ketaatan pada aturan dan tata tertib. Untuk itu, berdisiplin dalam menjalankan suatu kerja akan dapat menghasilkan mutu kerja yang cemerlang. Sehingga perilaku disiplin ini, akan mengantarkan hasrat negara untuk menjadi maju dan unggul dapat dicapai lebih cepat lagi, bila dibandingkan dengan perilaku tidak disiplin.
Lebih dari itu, dengan berdisiplin diri, seseorng itu akan dapat menguatkan pegangannya terhadap ajaran agama dan menghasilkan mutu kerja yang cemerlang serta prestatif –unggul–.
6. Sabar
Yaitu sifat tahan menderita sesuatu (tidak lekas marah; tidak lekas patah hati; tidak lepas putus asa; dsb) –tenang–. Di dalam menghadapi cobaan hidup, ternyata kesabaran ini sangat penting untuk membentuk individu/ pribadi unggul. Hal ini seperti dikehendaki Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 200, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam mengerjakan perkara-perkara kebajikan) dan kuatkanlah kesabaranmu (lebih dari kesabaran musuh di medan perjuangan) dan tetaplah bersiap siaga (dengan kekuatan pertahanan di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung (berjaya).”
Akhirnya, dengan dimilikinya sifat-sifat unggul tersebut, maka seseorang akan sangat beruntung karena ia mampu mengemudi hidupnya dengan “kesempurnaan”. Dan kondisi demikian, membuat seseorang dapat berperan dengan baik kepada dirinya dan alam sekitarnya. Bukankah, hidup seseorang dikatakan baik, manakala ia dapat berguna bagi orang lain? Wallahu’alam..
Sumber : http://www.miqra.blogspot.com.